Jumat, 03 Juni 2011

DAMARWULAN DAN MENAKJINGGA


Ngaji Prasemon I
Oleh: Fatrah Abal                                            

            Prasemon dalam Serat Damarwulan
            Menurut Soenarto Timoer; sebelum mengungkapkan atau menafsirkan “lelungidan” (wewarah, ajaran) yang tersimpan dalam karya sastra Damarwualan, perlulah kiranya dipisahkan lebih dahulu “hubungan” (kerangka) dari “wiletan”-nya (detailering). Meskipun “wiletan” menentukan keindahan karya sastra, ia tidak termasuk “baku” (pokok). Ia merupakan semacam busana saja bagi cita (idea) sang pujangga yang tersiratkan dalam karyanya, dan cita itulah yang merupakan “balungan” itu. Jadi dengan demikian wiletan dapat disebut “ubarampe” (pelengkap) untuk mencukupi kebutuhan karya sastra. Dalam kita menafsiri isi karya sastra, maka yang ditafsiri ialah “balungannya” (ideanya), sedang wiletannya berfaal sebagai pelengkap untuk menafsiri. Artinya; bahwa pelengkap itu sendiri tidak ikut atau tidak perlu ditafsiri. Demikian pula mengenai peraganya, perlu dipilah-pilahkan antara “peraga-baku” dan “peraga-bukan-baku”. Atau yang akhir ini secara mudahnya kita sebut “peraga-samping” (figuran). Peraga samping ini, seperti halnya dengan “wiletan”, hanyalah pelengkap,  juga tidak perlu ditafsiri. Dalam lakon Damarwulan banyak sekali peraganya, dan dapat dipastikan  tidak sedikit pula yang berfaal sebagai peraga-samping. Soalnya ialah: mana yang kita golongkan peraga-baku (jadi yang harus ditafsiri) dan mana peraga-samping (yang tidak perlu ditafsiri).
            Pendapat Soenarto Timoer tersebut diatas, sebagian besar bisa di terima, namun  beberapa hal saya berpendapat beda, seperti; 1. Seluruh pelaku merupakan prasemon yang harus diungkap dan ditafsirkan, tinggal mampu menjangkau atau tidak. 2. Nama-nama tempat atau daerah  tidak perlu ditafsiri, kecuali nama dukuh Paluhamba dan nama Balambangan harus ditafsiri karena merupakan prasemon. 3. Dan walupun apa yang disebut sebagai “wiletan” yang bersifat menunjang keindahan karya sastra, ada  diantaranya yang menyimpan makna lambang sehingga perlu mendapat ulasan seperlunya. Maka dari itu bagi yang berupaya mengungkap, perlu kejelian dalam menyimak materi yang di telaah, apa bermakna lambang atau tidak Dan khusus dalam mengungkap tafsirkan “prasemon” yang berkaitan dengan pelaku penting yang pernah hidup dalam sejarah, contoh seperti “prasemon” yang diarahkan kepada Prabhu Kenya Kencanawungu raja Majapahit dan Menak Jingga Urubisma Raja Blambangan, setelah meng-“othak-athik” sampai “gathuk” (telah terungkap makna tersiratnya), perlu penjelasan lebih lanjut siapa sebenarnya tokoh yang mendapat prasemon atau sindiran tersebut. 
            Memang, apa yang saya sajikan ini berbeda dengan yang disajikan oleh  Soenarto Timoer, dalam karyanya berjudul: DAMARWULAN (SEBUAH LAKON WAYANG KRUCIL) KUPASAN SEGI FALSAFAH DAN SIMBOLIKNYA.  Terbitan, P.N. Balai Pustaka, 1980. yang hasil “othak-athik”-nya dikaitkan atau di-gatuk-kan, dengan dunia “perwayangan” yang ditekuni. Adapun yang saya lakukan dikaitkan dengan peristiwa sejarah kerajaan Majapahit yang disinggung dalam epos Damarwulan. Hal itu sah-sah saja, tinggal  tergantung pada pembacanya, bisa menerima atau malah sebaliknya dan sebagainya.
            Pada umumnya para ilmuwan atau ahli sejarah yang meninjau Serat “Damarwulan” atau cerita “Damarwulan dan Menakjingga”, yang menjadi perhatian pertama ialah tokoh pelaku “Prabhu Kenya Kencanawungu”, lalu tokoh ini diindentifikasikan dengan mencari tokoh putri yang pernah berkuasa menjadi raja Majapahit. Selanjutnya tokoh-tokoh pelaku dalam Serat Damarwulan lainnya, seperti; Prabhu Menakjingga Urubisma, Rangga Lawe,  dan seterusnya, juga diindentifikasikan dengan tokoh-tokoh pelaku dalam sejarah Majapahit yang sekiranya cocok menurut pendapatnya masing-masing. Namun hasilnya tidak ada yang memuaskan, seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, 1983. h. 150/151, sebagai berikut:
Tinjauan dari segi sejarah tentang tokoh-tokoh dalam Serat Damarwulan telah sering dilakukan oleh beberapa sejarawan asing (Belanda). Namun hasilnya kurang memuaskan.  J.L.A. Brandes dalam karyanya Pararaton h. 188 dst. Menghubungkan perang Majapahit-Blambangan dalam Serat Damarwulan dengan Perang Paregreg antara Wikramawardhana - Bhre Wirabhumi. Menak Jingga dari Balambangan yang dikalahkan oleh Damarwulan, disamakan dengan Bhre Wirabhumi yang dipenggal kepalanya oleh Raden Gajah. Prabhu Kenya disamakan dengan Dewi Suhita yang memerintah Majapahit dari tahun 1427 sampai 1447. Penyamaan Prabhu Kenya dengan Dewi Suhita jelas tidak kena, karena suami Dewi Suhita ialah Hyang Parameswara Aji Ratnapangkaya. Asal-usul Hyang Parameswara adalah keturunan Bhre Pandan Salas Raden Sumirat, sedangkan Damarwulan, konon adalah keturunan Patih Udara. Bhre Wirabhumi dari Kedaton Wetan tidak sama dengan Menak Jingga dari Balambangan, karena Kedaton Wetan terletak di Pamotan, tidak di Balambangan seperti ditunjukkan dalam “Timbulnya Kedaton Timur” (baca; Timbulnya Kedaton Timur; Prof. Dr. Slamet Muljana, 1980. h.216-223).  C.C. Berg dalam karyanya Het rijk van de vijfvaudige Buddha, h. 289, 296, menyamakan perang melawan Balambangan dalam Serat Damarwulan dengan Perang Sadeng dalam  Pararaton/ Nagarakretagama. Perang Sadeng berlangsung pada zaman pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi. Demikianlan Berg menyamakan Prabhu Kenya dengan Tribhuwana Tunggadewi. Pahlawan perang Sadeng ialah Gajah Mada. Tokoh ini disamakan dengan Damarwulan yang berhasil mengalahkan Menak Jingga dari Balambangan dan kawin dengan Prabhu Kenya. Suatu kenyataan ialah bahwa suami Tribhuwana Tunggadewi adalah Sri Kartawardhana dari Singasari. Berg beranggapan bahwa nama Gajah Mada adalah variasi dari nama Kertawardhana dan menerima teori Moens bahwa Tribhuwana Tunggadewi melakukan biandri (mempunyai dua suami) seperti diuraikan oleh J.L. Moens dalam makalahnya Wisnuwardhana, vorst van Singasari dalam TGB, LXXXV, 1955. h. 384. Terlalu sulit untuk menerima pendapat Berg di atas. Bagaimana akan menjelaskan hubungan antara Sri Kertawardhana dan Patih Udara dalam kerangka pandangan Berg di atas? Kiranya salah satu jalan yang pantas ditempuh ialah membahas secara histories tokoh Patih Udara yang konon adalah ayah Damarwulan.
Dr. Stutterheim, 1952, I: 78: Lain lagi pendapatnya. Menurut dugaannya Damarwulan adalah Kertawardana, suami Prabu istri Tribuanatunggadewi yang dilukiskan sebagai Kencanawungu. Menakjingga adalah adipati Sadeng. Layangseta dan Layangkumitir,  kedua saudara Anjasmara (seperti  dituturkan dalam sejarah Anjasmara ini menjadi selir Kartawardhana [sic!}). Adalah gambaran kembar yang disebut dalam Pararaton. (Sunarto Timur 1980. h. 36/37).
            Mengapa hasil tinjauan tokoh-tokoh pelaku dalam Serat Damarwulan dari segi sejarah oleh para ilmuwan, pakar sejarah dan banyak lagi yang lainnya, hasilnya selalu tidak memuaskan dan tidak mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Masalahnya, sebenarnya cukup sederhana, yaitu bahwa para ilmuwan, pakar sejarah dan banyak lagi yang lainnya, yang meninjau Serat Damarwulan, tidak mempunyai wawasan bahwa Serat Damarwulan merupakan karya sastra yang dikemas dengan bahasa lambang atau prasemon. Sehingga sampaikanpun dan oleh siapapun bila dilakukan seperti itu, tidak akan pernah mendapatkan hasil yang diharapkan.
 Pada umumnya yang meninjau Serat Damarwulan selalu mengawali dengan membahas tokoh pelaku Prabhu Kenya Kencanawungu Selanjutnya membahas tokoh pelaku Menakjingga Urubisma, dan setelah itu baru tokoh-tokoh pelaku yang lain-lainnya.. Demikianpun dalam hal ini saya memulai dengan meng-“othak-athik” sampai “gathuk” tokoh Prabhu Kenya Kencanawungu. Selanjutnya tokoh Menak Jingga Urubisma, dan setelah itu tokoh-tokoh atau prasemon yang lain dalam Serat Damarwulan.            

1. PRABHU KENYA KENCANAWUNGU
            Dalam sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit telah terjadi berulang kali peperangan/ pemberontakan. Hanya dalam perang Paregreg (1401-1406) Pada zaman Wikramawardhana  biang pemberontak yaitu Bhre Wirabhumi  tewas dengan dipenggal kepalanya oleh satria  Majapahih yaitu Narapati Raden Gajah. Hal itu serupa dengan yang dilukiskan dalam Serat Damarwulan, bahwa biang pemberontaknya “Prabhu Menak Jingga Urubisma” tewas dan  dipenggal kepalanya oleh satria Majapahit. yaitu Raden Damarwulan. Dengan demikian                           bahwa perang yang disinggung dalam Serat Damarwulan, adalah perang Paregreg (1401-1406) antara Kedhaton Kulon dengan rajanya Wikramawardhana  melawan pemberontakan Kedhaton Wetan yang dipimpin oleh Bhe Wirabhumi, sebagaimana yang diinformasikan dalam Pararaton. Namun di dalam Serat Damarwulan mengapa raja Majapahit Wikramawardhana mendapat prasemon Prabhu Kenya Kencanawungu dan yang memberontak Bhre Wirabumi  disebut Prabhu Menak Jingga Urubisma, selain itu mengapa Kedhaton Wetan negara bawahan Kajapahit di Pamotan yang memberontak dan dipimpin oleh Bhre Wirabhumi diberi nama Balambangan? Pada hal daerah Pamotan letaknya ditepi sebelah barat sungai Porong. Mengingat sejak lama saya mendengar dari para sesepuh bahwa cerita Damarwulan tersebut adalah cerita lambang atau prasemon, konon bila ingin mengetahui siapa yang dimaksud Prabhu Kenya Kencanawungu? maka harus di-“othak-athik” sampai “gatuk” sebagaimana dilakukan para sesepuh zaman dulu.
Prabhu = raja; Kenya = gadis (konotasinya pada perempuan, sebagai lambang artinya lemah); Kencanawungu, merupakan rangkaian kata, “kencana” dan wungu”. Kencana = emas (sesuatu yang mempunyai nilai tinggi dalam suatu kerajaan senilai emas = tahta). Wungu = ungu atau suram. Artinya, raja (pemerintah) yang lemah, sehingga tahta-nya menjadi suram atau kelabu alias memprihatinkan.
            Benarkah semonan atau sindiran bahwa kerajaan Majapahit pada zaman pemerintahan Wikramawardhana sedemikian lemahnya, sehingga dalam Serat Damarwulan disemoni; Prabhu Kenya Kencanawungu?  Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penjelasannya sebagai berikut:
            Wikramawardhana naik tahta Majapahit pada tahun 1389 menggantikan Sri Rajasanegara (Dyah Hayam Wuruk) berkat perkawinannya dengan Kusumawardhani, pada saat kerajaan Majapahit sudah merosot.                 
            Sepeninggal Patih Gajah Mada pada  tahun 1364 Musyawarah Besar Keluarga Rajadiraja memutuskan bahwa jabatan Patih Amangkubhumi tetap lowong untuk sementara waktu sampai  ditemukan orang yang dianggap layak untuk diangkat sebagai Patih Amangkubhumi pengganti Gajah Mada. Jabatan Patih Amangkubhumi dirangkap oleh Dyah Hayam Wuruk sebagai Kepala Negara. Dalam menjalankan pemerintahan Dyah Hayam Wuruk mengadakan sekedar perubahan dalam susunan kabinet mentri, antara lain Sri Kertawardhana diberi tugas untuk mengatur keamanan Negara dan Sri Wijayarajasa diberi tugas untuk mengatur urusan dalam negeri, yang pada hakekadnya sama dengan kekuasaan Patih Amangkubhumi.  Peranan ini memberi kesempatan leluasa kepada Sri Wijayarajasa untuk menggalang kekuasaan dalam pemerintahan.
 Pada tahun 1365 belum tampak adanya kemrosotan dalam kehidupan kenegaraan, bahkan pemerintahan Majapahit di bawah pimpinan Dyah Hayam Wuruk sangat dipuji oleh Prapanca. Segala-galanya serba hebat, seolah-olah hilangnya Gajah Mada tidak mempunyai pengaruh sedikitpun kepada jalannya pemerintahan. Ternyata setelah tiga tahun merangkap jabatan Patih Amangkubhumi, Sri Hayam Wuruk rupanya sudah mulai kewalahan. Pararaton, menyatakan bahwa pada tahun 1367 Gajah Enggon diangkat sebagai Patih Amangkubhumi. Tugas utama Patih Amangkubhumi ialah mengkoordinasi pemerintahan daerah. Sepeninggal Gajah Mada tali kendali untuk mengkordinasi pemerintahan seluruh Kerajaan Majapahit itu ditangan Dyah Hayam Wuruk. Tidak ada orang yang khusus mengawasi pemerintahan daerah. Dengan sendirinya hubungan antara daerah dengan pusat menjadi kendor. Ketika Gajah Mada memegang jabatan Patih Amangkubhumi, pengawasan terhadap pemerintahan daerah dilakukan dengan ketat. Dan sepeninggal Gajah Mada terjadi perubahan drastis dalam administrasi pemerintahan di pusat.
Gajah Enggon sebagai Patih Amangkubhumi tidak sekuat Gajah Mada, sehingga tetap terbuka kesempatan bagi Sri Wijayarajasa untuk menerusksn menggalang kekuasaan. Timbulnya Kedhaton Timur di Pamotan itu akibat ambisi Sri Wijayarajasa untuk berkuasa dengan memanfaatkan kelemahan Gajah Enggon. Pengiriman utusan dari Kedhaton Wetan ke negeri Cina pada tahun 1377 dimaksudkan untuk memperoleh pengakuan dari Kaisar Cina, namun usaha itu mengalami kegagalan. Sampai ajalnya pada tahun 1388, Sri Wijayarajasa tidak pernah mendapat pengakuan dari Kaisar Cina sebagai penguasa Kerajaan Timur. Lagi pula pada waktu itu Majapahit sedang terlibat dalam sengketa segi tiga: Majapahit, Suwarnabhumi dan Cina,  akibat peperangan antara Majapahit dan Suwarnabhumi. Utusan dari Kedaton Wetan tidak dapat diterima oleh Kaisar, bahkan nasibnya lebih jelek lagi. Utusan itu malah ditahan.
Meskipun mengetahui Bhre Wengker Sri Wijayarajasa berusaha untuk mendirikan Kedhaton Wetan di Pamotan sebagai saingan Kedaton Kulon (Majapahit), terbukti Dyah Hayam Wuruk tidak mengambil tindakan apapun terhadap Sri Rajasanegara. Alasan membiarkan tingkah laku Sri Wijayarajasa itu barangkali seperti berikut. Pertama, selama belum timbul gejala untuk memisahkan diri, adanya Kedaton Timur belum dianggap membahayakan kesatuan Majapahit. Usaha Sri Wijayarajasa untuk memperoleh pengakuan dari Kaisar Cina memang mengalami kegagalan. Kedua pada waktu itu  Dyah Hayam Wuruk sedang kesulitan menghadapi sengketa segi tiga: Majapahit-Suwarnabhumi-Cina. Ketiga, bagaimanapun Sri  Wijayarajasa adalah paman / mertua Dyah Hayam Wuruk. Untuk mengambil tindakan terhadap Sri Wijayarajasa, dalam hal yang demikian Sri Hayam Wuwuk pasti agak segan. Terbukti ini adalah suatu kelalaian  Dyah Hayam Wuruk  dalam politik, karena kemudian timbulnya Kedaton Timur membawa malapetaka yang sangat parah kepada Majapahit dengan pecahnya perang Paregreg pada tahun 1401-1406.
Kekendoran pengawasan terhadap pemerintahan daerah pada era Patih Gajah Enggon, memberi kesempatan terwujudnya ambisi  Sri Wijayarajasa mendirikan Kedaton Wetan, juga mengakibatkan beberapa pemerintah daerah berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Majapahit, Nagarakretagama pupuh XIII/1 menyebut pelbagai Negara bawahan Majapahit di Sumatra di antaranya ialah Jambi, Palembang dan Dharmaraya juga mengadakan hubungan dengan negeri Cina dengan mengirim utusan. Maharaja Palembang mengirim utusan pada tahun 1374 dan Raja Pagaruyung pada tahun 1375. Bahkan tahun 1377 sepeninggal raja Dharmasraya, putranya sengaja mohon pengakuan dan pengangkatan kepada Kaisar Cina. Tanpa perlindungan  Kaisar Cina ia tidak berani naik tahta menggantikan ayahnya, karena takut kepada raja Jawa. Hubungan negara-negara itu dengan negeri Cina, dengan sendirinya menimbulkan kemarahan Raja Majapahit. Itulah salah satu sebab mengapa pada tahun 1377 tentara Jawa menggempur Suwarnabhumi. Timbulah karenanya sengketa segi tiga Suwarnabhumi, Majapahit, Cina. Utusan Kaisar Cina ke Suwarnabhumi yang membawa pengangkatan, stempel dan perabot kebesaran berhasil dicegat dan dibunuh oleh tentara Jawa. Menyadari akan kesalahannya Kaisar tidak mengambil tindakan kepada Raja Majapahit. Sementara itu Suwarnabhumi berhasil ditundakkan lagi oleh tentara Majapahit. Namun pada waktu itu akibat peperangan Majapahit telah kehabisan nafas, tidak lagi mempunyai orang kuat yang dapat diangkat sebagai wakil Majapahit di negara-negara bawahannya di Sumatra dan lain sebagainya.
Setelah sembilan tahun Wikramawardhana naik tahta, pada tahun 1398  Gajah Enggon wafat, lalu digantikan oleh Gajah Lembana. Pada tahun 1400,  Wikramawardhana pergi bertapa untuk menjalani masa kependetaan (brahmacarin) sesuai dengan ajaran caturasrama. Selama itu yang menjalankan pemerintahan ialah Prabhu Stri (permaisurinya). Mendadak Wikramawardhana membatalkan masa kependetaannya, kembali mengemban pemerintahan dan bertengkar dengan Bhre Wirabhumi. Tiga tahun kemudian ketegangan itu telah berubah kearah peperangan.. Jadi pada saat pecahnya Perang Paregreg kondisi Kerajaan Majapahit sudah merosot sedemikian rupa menjadi kerajaan yang lemah. Oleh karena itu dalam Serat Damarwulan Kerajaan Majapahit dan Wikramawardhana sebagai rajanya diberi prasemon Prabhu Kenya Kencanawungu, yang menyimpan makna; Raja (pemerintahan)-lemah, sehingga tahtanya; ungu (memprihatinkan).
                                                                                  
2. MENAK JINGGA URUBISMA.
            Pararaton, menyinggung bahwa yang terlibat dalam Perang Paregreg ialah Kedhaton Kulon (Majapahit) dengan Rajanya Wikramawardhana dan Kedhaton Wetan yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi. Yang perlu ditanyakan, siapa sebenarnya Bhre Wirabhumi dan bagaimana Bhre Wirabhumi bisa berkuasa di Kedaton Wetan?  Dan mengapa dalam Serat Damarwulan Bhre Wirabhumi, diberi prasemon (lambang) Menak Jingga Urubisma?
            Bhre Wirabhumi ialah putra Dyah Hayam Wuruk dari istri binihaji (selir). Berhubung perkawinan sepupu Dyah Hayam Wuruk yaitu  Rajasaduhita Indudewi dengan Rajasawardhana tidak punya keturunan,  maka Bhre Wirabhumi  diambil sebagai putra angkat oleh  Rajasaduhita Indudewi, ia adalah prutri tunggal dari perkawianan Bhre Daha Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa dengan Sri Wijayarajasa dari Wengker.
            Setelah meninggalnya Gajah Mada, dalam Musyawarah Besar Keluarga Rajadiraja antara lain Sri Wijayarajasa diberi tugas untuk mengatur urusan dalam negeri, yang pada haketatnya  tugasnya sama dengan Patih Amangkubhumi. Hal itu meberi peluang bagi Sri Wijayarajasa untuk mewujudkan impiannya mendirikan kerajaan di Pamotan yang dalam Pararaton kemudian disebut Kedaton Wetan. Pada tahun 1377 Kedaton Wetan mengirim utusan ke Cina dengan maksud minta pengakuan sebagai kerajaan yang berdaulat, namun utusan itu tidak diterima oleh Kaisar.
            Sri Wijayarajasa dari Wengker, juga dikenal sebagai Bhre Pamotan Hyang Parameswara hingga mangkat pada tahun 1388, Kedaton Wetan tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai Negara berdaulat dari kaisar Cina. Satu-satunya pewaris Kedaton Wetan ialah Bhre Daha Rajasaduhita Indudewi, ibu angkat Bhre Wirabhumi. Kiranya sejak tahun 1388 Rajasaduhitendudewi  pindah dari Daha ke Pamotan, sedangkan Bhre Wirabhumi secara resmi menjadi Bhre Daha. Oleh karena itu Bhre Wirabhumi berhak mewarisi Kedaton Wetan       
            Dari uraian diatas sudah terjawab siapa Bhre Wirabhumi dan mengapa Bhre Wirabhumi dapat menjadi penguasa di Kedaton Wetan yang dirintis oleh Hyang Parameswara Wijayarajasa sejak tahun 1377.
            Pada tahun 1403 Yung Lo mengirim utusan ke Majapahit untuk memberitahukan penobatannya sebagai kaisar baru. Pemberitahuan itu segera disambut dengan pengiriman utusan ke negeri Cina untuk menyatakan ucapan selamat. Hubungan antara negeri Cina dan Majapahit makin hari bertambah rapat, lebih-lebih setelah raja Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar. Sebagai tanda terima kasih Wikramawardhana mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa upeti.
            Rupanya kiriman stempel perak berlapis emas itu membangkitkan niat Raja Kedaton Wetan untuk juga mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa upeti. Namun maksud utama pengiriman utusan itu ialah untuk minta stempel sebagai tanda pengakuan resmi dari pihak Kaisar. Ternyata permintaan itu dikabulkan. Pemberian stempel itu membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memperlakukan Kedaton Wetan sejajar dengan Kedaton Kulon; merupakan pengakuan resmi Kaisar kepada Kedaton Wetan lepas dari kekuasaan Kedaton Kulon. Hal itu pasti membuat ketidak senangan pihak Kedaton Kulon. Tidak mengherankan bahwa karenanya lalu timbul ketegangan antara  Kedaton Kulon dan  Kedaton Wetan. Sejarah Dinasti Ming menyatakan bahwa raja Kedaton Timur itu bernama Put-ling-ta-ha. Nama itu kiranya ialah transliterasi Cina dari gelar asli Bhre Daha (Breng Daha); suatu bukti bahwa Bhre Wirabhumi benar bergelar Bhre Daha sejak tahun 1371 sepeninggal Bhre Daha Dyah Wiyat Sri Rajadewi.
            Dalam pelayaran yang pertama tahun 1405 Ceng Ho singgah di Majapahit. Ia menyaksikan bahwa pada waktu itu sedang timbul ketegangan antara Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan. Ketegangan itu berubah menjadi peperangan antara Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan  setahun kemudian. Pernyataan sejarah Dinasti Ming itu cocok dengan uraian sumber sejarah Pararaton, yang mengatakan bahwa pada tahun Saka; “naga-loro-anahut-wulan 1328” (bertepatan tahun Masehi 1406) terjadi perang Paregreg.
            Dalam Serat Damarwulan, mengapa raja Kedaton Wetan (Balambangan),  diberi lambang (prasemon) Menak Jingga Urubisma?
Menak = priyayi, bangsawan atau keturunan raja. Jingga = warna kuning kemerah-merahan. Sebagai lambang yang diletakkan dibelakan nama seseorang, mengandung makna simbolis bahwa yang bersangkutan mempunyai watak brangasan. Dengan demikian prasemon “Menak jingga” menyimpan makna; priyayi atau bangsawan; yang brangasan, kurang ajar, tidak mengerti tatanan, brutal dan lain semacamnya.
Urubisma, rangkaian dari “uru” dan bisma”. Uru = paha (Bau Sastra basa Jawi, W.J.S. Poerwadarminta, Tokyo 24 Februari 1937, h. 445). Bisma = maha dahsyat (Lihat, DAMARWULAN “Sebuah Lakon Wayang Krucil”, Soenarto Timoer, PN. Balai Pustaka, Jakarta 1980, h. 82). Lalu apa yang yang dimaksud prasemon “Paha maha dahsyat?” Paha merupakan bagian kaki sebelah atas untuk menyangga tubuh. Bagian tubuh yang dekat dengan paha, ialah, “kelamin” (lambang dari; nafsu) dan “dubur” (artinya; kotor). Dengan demikian prasemon Menak Jingga Urubisma, menyimpan makna; Priyayi brangasan, menyangga nafsu kotor yang maha dahsyat (luar biasa). Hal itu sehubungan dengan ulah  Sri Rajasanegara yang berambisi luar biasa mendirikan kerajaan dalam kerajaan seperti diterangkan di atas.
Jadi prasemon yang mengandung sindiran “Menakjingga Urubisma” pada awalnya ditujukan kepada Sri Rajasanagara yang berambisi mendirikan Kedaton Wetan sejak Tahun 1377. Namun setelah Sri Rajasanagara mangkat tahun 1388, Kedaton Wetan jatuh ditangan pewarisnya yaitu Rajasaduhitaindudewi (Bhre Daha), ibu angkat Bhre Wirabhumi. Dan Bhre Wirabhumi wajar menyandang gelar Bhre Daha atau “Put-ling-ta-ha”, menurut catatan sejarah Dinasti Ming di Cina. Dalam Serat Damrwulan akhirnya Bhre Wirabhumi yang mewarisi prasemon “Menakjingga Urubisma” tewas dalam perang tanding melawan Raden Damarwulan satria Majapahit dengan dipenggal kepalanya. Kemudian kepala Prabhu Menakjingga Urubisma yang terpenggal dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada prabhu Kenya Kencanawungu.
Dalam perang Paregreg yang berakhir pada tahun 1406 Kerajaan Timur berhasil dihancurkan. Bhre Wirabhumi yang berusaha melarikan diri di waktu malam dengan menumpang perahu, berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah. Kepalanya dipancung dan dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa Wikramawardhana. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di desa Lung; candinya bernama Grisapura. Candi itu dibangun pada tahun Saka 1328 bertepatan dengan tahun Masehi 1406.

3. BALAMBANGAN (Dalam Serat Damarwulan).
            Bila perang yang disinggung dalam Serat Damarwulan adalah perang Paregreg, mestinya yang perang adalah Kedaton Kulon yang dipimpin oleh raja Hyang Wisesa Wikramawardhana di Trowulan, melawan pemberontakan  Kedaton Wetan yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi di Pamotan.  Tetapi mengpa dalam Serat Damarwulan  Kedaton Wetan yang beribukota di Pamotan mendapat sindiran dengan prasemon Balambangan? Lalu apa makna prasemon Balambangan dalam Serat Damarwulan? Padahal Pamotan terletak ditepi sebelah barat sungai Porong.
            Lambang atau prasemon “Balambangn” jelas awalnya tercantum dalam “Prasasti Jayanegara I -1316” yang dikeluarkan oleh raja Majapahit Sri Jayanegara setelah penumpasan pemberontakan Nambi di daerah “Tigang Juru” dengan ibu-kotanya  Lumajang, pada tahun 1316.
Dalam Prasasti Jayanegara I tersebut, daerah “Tigang Juru” yang memberontak dikritik dengan bahasa lambang yang lazim disebut prasemon, yaitu sekali dengan prasemon “Malambanganpada lempengan depan lirik ke 2, dan dua kali dengan prasemon “Balambangan pada lempengan depan baris ke 4. (Tatanegara Majapahit “Sapta-Parwa”, Haji Mohamad Yamin Parwa II, 1962 h. 37).
Malambangan, terdiri dari kata; Mala dan “Mbangan” (abangan). Mala, artinya; rereget, leletek, dosa, cacat, kacilakan, kasangsaran (Ind; kotoran, noda, dosa, cacat, kecelakaan, kesengsaraan) Lihat; Baoesastra Djawi W.J.S. Poerwadarminta, Tokyo 24 - 2 - 1913, h. 267.
Mbangan (abangan), artinya; wong kang ora nglakoni agama (Ind. Orang yang tidak menjalani agama), ibiden W.J.S. Poerwadarminta  1913, h.l.
Maksudnya, pemberontakan di “Tigang Juru” dengan ibu-kota Lumajang tahun 1316 mendapat prasemon
Malambangan, artinya bahwa; pemberontakan yang menimbulkan; kerusakan, kecelakaan, kesengsaraan dan lain sebagainya itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak menjalankan ajaran agama, yang dipimpin oleh Nambi.
Balambangan, terdiri dari kata; “Bala” dan “Mbangan (abangan) Bala, arinya; karosan,  kekuatan atau prajurit kang melu perang.  (Ind; ketahanan, kekuatan atau prajurit yang ikut perang). Ibiden W.J.S. Poerwadarminta 1913, h. 26. Mbangan (abangan); ibiden 1913, h. 1.
Maksudnya, pemberontakan di “Tigang Juru” dengan ibu-kota Lumajang tahun 1316, mendapat prasemon Balambangan, artinya; bahwa pemberontakan yang memiliki ketahanan, kekuatan atau prajurit yang ikut perang itu, dilakukan oleh orang-orang yang tidak menjalankan agama, yang di pimpin oleh Nambi.
Memperhatikan hasil, “othak-athik” sampai “gathuk” prasemon “Malambangan” maupun “Balambangan” yang terdapat dalam “Prasasti Jayanegara I-1316” rupanya Sang Pujangga  Pencipta  Serat Damarwulan cendrung meminjam prasemon Balambangan (salah satu  prasemon dalam Prasasti Jayanegara I) untuk diindentifikasikan dengan Kedaton Wetan/Pamotan yang dipimpin Bhre Wirabhumi yang memberontak pada pemerintahan pusat Kedaton Kulon/Majapahit (Trowulan) yaitu yang dikenal dengan perang Paregreg pada tahun 1401-1406. Artinya, prasemon “Balambangan” dalam “Serat Damarwulan” menyimpan makna tersirat bahwa pemberontakan/perang Parereg, dilakuakn oleh prajurit atau gerombolan orang-orang yang tidak menjalankan agamanya dan dipimpin oleh Menak Jingga Urubisma (Bangsawan brangasan yang menjunjung “menuruti” nafsu kotor yang luar biasa),  karena melanggar hukum menggalang kekuatan mendirikan negara dalam negara.
Dalam “Serat Damarwulan” bukan hanya prasemon Balambangan saja yang dipinjam oleh Sang Empu. Ada beberapa nama pelaku sejarah atau hal tertentu dalam sejarah yang dipinjam dan dimanfaatkan sebagai prasemon dalam karyanya yang adiluhung itu. Antara lain; Rangga Lawe yang hidup dari zaman pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), karena Rangga Lawe memberontak akhirnya tewas oleh Mahisa Anabrang di Sungai Tambak Beras tahun 1295;  Patih Udara yang hidup pada “zaman renaissance Kediri dalam permulaan abad enam belas”  (Prof. Dr. Slamet Mulyana 1983 h.279): Damarwulan, tokoh ini tercantum dalam ‘Serat Kanda’; Juga nama dinasti  Brawijaya” untuk prasemon anugerah gelar Damarwulan setelah dapat memenggal kepala Menak Jingga Urubisma dan daup dengan Prabhu Kenya Kencanawungu sebagai raja kerajaan Majapahit, dalam Serat Damarwulan.. Pada hal dalam sejarah dinasti “Brawijaya” baru muncul sekitar lima dekade setelah usainya perang Parereg 1406. Seperti: Brawijaya I, Prabhu Kertawijaya (1447-1451);  Brawijaya II, Prabhu Rajasawardhana (1451-1463); Brawijaya III, Prabhu Hyang Purwawisesa (1456-1466); Brawijaya IV, Prabhu Pandansalas (1466-1468); Brawijaya V, Prabhu Kartabumi (1468-1478); Brawijaya VI, Prabhu Udara (1498-1518). (Walisanga, Solihin Salam. 1960 h. 13).
            Pada zaman pemerintahan Sunan Pakubuwana II (1725-1749),  terjadi perpecahan antara bangsawan-bangsawan Mataram yang membuat kekuatan Mataram yang bulat sirna. Melihat  para bangsawan saling bermusuhan berebut pengaruh dan kedudukan serta melibatkan wong cilik sebagai pengikut-pengikutnya dan puluhan ribu yang tewas, karena dipicu oleh campur tangan Kompreni Belanda yang terkenal dengan politik “adu-domba” (devide et impera)-nya dan perang tersebut dikenal dengan nama “Perang Mangkubumi” yang sangat menguntungkan fihak Kompeni Belanda, maka tahun 1748 seorang pujangga sangat sedih dan prihatin ingin memberi  “wewarah”; pengarahan, kritik, nasehat dan sebagainya,  kepada para bangsawan Mataram agar sadar dan bersatu jangan sampai terjerumus dalam perang saudara seperti perang Paregreg pada tahun1406, yang akhirnya kerajaan Majapahit menjadi bertambah suram, maka teciptalah Epos Damarwulan sebagai “Tunggul Manik” (Pangilon) atau kaca-menggala, bagi mereka yang terlibat dalam peperangan di Mataran, dan karyanya itu dikenal  “Serat Damarwulan” dikemas dengan bahasa lambang atau prasemon yang sudah menjadi kelaziman orang dahulu dalam menyampaikan pesan.
            Karena munculnya “Serat Damarwulan” situasi peperangan sudah memanas dan terus berkobar sampai cukup lama lebih dari satu decade dan belum lagi dampaknya, yang antara lain menimbulkan saling; membenci, sakit hati dan dendam, dapat dipastikan karya sastra adiluhung tersebut terbengkelai tidak ada yang membaca. Padahal “Serat Damarwulan” yang dikemas dalam bahasa lambang (prasemon) tersebut, menyimpan makna tersirat memberi “wewarah”; agar para bangsawan yang bertikai; bermusuhan berebut kedudukan dan lain sebagainya, sadar dan bersatu. 
 Dan “Perang Mangkubumi” terus berkobar membara melemahkan Mataram, Belanda mendapat kesempatan untuk mengadu-domba raja-raja atau para sunan untuk menguasai daerah mereka. Artinya, sepertinya sia-sia Sang Empu menciptakan Serat Damarwulan yang bertujuan menyadarkan para bangsawan Mataram untuk waspada dan berprihatin. Sehingga, Kompeni Belanda dapat menempatkan “dirinya” sebagai yang dipertuan oleh raja-raja atau para sunan tersebut karena hak yang mereka terima pada tahun 1749, yang diperkuat lagi oleh perdamaian Gianti dan Salatiga tahun1757.
Pemberontakan Mangkubumi dan Mas Said meninggalkan bekas sejarah:
                        Tahun 1749, Mataram diserahkan kepada V.O.C. tanpa syarat.
                        Tahun 1755; Dalam perdamaian Gianti Mataram dipecah dua.
                        Tahun 1757; Dalam perdamaian Salatiga, Surakarta dipecah dua.
Dan banyaknya kesunanan di eks Kerajaan Mataram yang terlihat hingga dewasa ini, tidak lain merupakan monumen akibat keberhasilan politik “adu domba” (devide et impera) Kompeni yang gencar pada masa itu.
Kiranya beberapa dekade dari tahun 1757, setelah “Perang Mangkubumi” sudah mereda dan Mataram benar-benar sudah dalam cengkeraman VOC, bahkan juga setelah seluruh tanah Jawa jatuh dalam genggaman VOC, termasuk daerah “Tigang Juru” dengan ibu-kotanya Lumajang (eks Karesidenan Besuki) yang pernah diberikan kepada Aria Wiraraja oleh Raden Wijaya pada tahun 1295, Serat Damarwulan mulai ada yang memperhatikan dan dibaca, terutama oleh golongan bangsawan yang menguasai baca-tulis. Dan munculnya kapitalisme-cetak memberikan peranannya dalam proses mempercepat tersebarnya  Serat Damarwulan atau cerita “Damarwulan dan Menakjingga” maupun karya-karya Jawa-Kuna lainnya, terutama pada awal abad XX cerita Damarwulan dan Menakjingga menjadi sangat terkenal, terutama dikalangan masyarakat Jawa-Tengah dan Jawa-Timur. Dan setelah bangsa Indonesia Merdeka semakin meluas di kawasan Nusantara, bahkan kemudian mendunia. Berkat keterkenalan cerita Damarwulan yang sedemikian rupa, nama Balambangan terbawa melambung menjadi termashur pula. Namun celakanya kemashuran nama Balambangan yang  terbawa oleh keterkenalan cerita Damarwulan dan Menakjingga tidak membawa citra wong Banyuwangi menjadi harum semerbak wangi, bahkan sebaliknya menjadi terpuruk bagai membawa bau busuk menjijikan dan selalu dicemo’oh/diolok-olok orang luar, terutama oleh Wong Koelon (Wong Mataram) tempo-doeloe. Bagaimana tidak, pada umumnya orang luar (terutama Wong Koelon) beranggapan bahwa Wong Banyuwangi adalah sisa-sisa Wong Balambangan atau keturunan dari Prabhu Menakjingga Urubisma yang memiliki jimat Wesi-Kuning dan sakti mandraguna. Lebih dari satu abad Wong Banyuwangi tertekan hidup dalam penderitaan bathin karena kemana-mana menerima gossip diindentifikasikan memiliki prilaku jahat seperti yang  melekat pada Prabhu Menakjingga raja Balambangan (dalam “Serat Damarwulan” yang fiktif) yaitu seperti sifat-sifat; tidak mengerti unggah-ungguh dan tatapranatan, brangasan, kasar, serakah, kejam dan sifat-sifat busuk lainnya. Bahkan para perempuan Wong Bayuwangi digosipkan memiliki kegemaran suka berselingkuh dan merebut suami atau lelaki lain, seperti Wahita dan Puyengan kedua istri  Menakjingga yang gatelen dalam Serat Damarulan.
Pada umumnya para pujangga atau penulis zaman dulu, dalam membuat karya sastra menggunakan bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa Kuna. Dan bila menyangkut masalah politik atau yang behubungan dengan kekuasaan (pemerintahan), selalu disela-sela penulisan karyanya memanfaatkan prasemon (bahasa lambang), hal itu bisa dimaklumi mengingat umumnya pada zaman kerajaan maupun zaman penjajahan Belanda hal-hal yang berbau politik atau bisa mencemarkan martabat kekuasaan ditindak dengan sewenang-wenang. Disisi lain banyak yang menggunakan nama samaran atau bahkan banyak yang  “nonim” alias tidak diketahui siapa penciptanya.
 Pesan-pesan terselubung demikian biasanya ditujukan pada orang-orang tua atau para pemimpin tertentu yang nalarnya mampu mencerna dan menghayati, kemudian sebagai menerima amanat dari Sang Empu, untuk dijabarkan dalam memberi pengarahan kepada yang dimaksud. Meskipun cerita Damarwulan dan Menakjingga atau Serat Damarwulan dalam menyampaikan visi dan misinya dapat dikatakan gagal, karena dikemas dengan bahasa lambang atau prasemon yang sulit dicerna oleh orang awam, karena pada kemunculannya situasi peperangan sudah memanas sampai kurun waktu yang cukup lama mengakibatkan para orang tua atau para pemimpin tertentu yang mampu menyerap maknanya telah banyak yang meninggal, maka “bagai benang merah yang putus”, akibatnya generasi berikutnya samasekali tidak ada yang bisa memahami makna tersiratnya. Dan walaupun ada yang mampu mencerna makna tersiratnya,  tidak juga berani menyampaikan pesan-pesan tersebut secara terbuka, kareana khawatir terendus oleh lawan dan antek-anteknya.
Namun kenyataannya epos Damarwulan tersebut dapat dikatakan sejak kemunculannya pada tahun 1748 hingga hari ini entah berapa ratus ribu orang yang telah membaca serta entah berapa juta yang mendengar dan sampai kapanpun tetap menarik serta menjadi perhatian, sebagai bukti bahwa Sang Empu Penciptanya benar-benar piawai dalam bidangnya, baik dalam hal prasemon, sejarah, membuat cerita, menyusun kata merangkai kalimat yang apik, menarik dan sebagainya.
Dalam makalahnya berjudul; “Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” Benedict R. Anderson, antara lain menulis: “Walaupun beberapa naskah terus-menerus diturun dan dipelajari, namun sastra kuna tersebut pada umumnya tetap tak tersentuh, baik secara lingustik maupun secara fisik, bagi bangsa Jawa abad ke-19. (Prisma 11, November 1982, halaman 76).
Apa yang dimaksud tersebut diatas, pasti termasuk karya sastra kuna baik berupa naskah, babad, tembang atau gending dan lain sebagainya yang dikemas dengan bahasa lambang yang hingga dewasa ini masih cukup banyak tetap tak tersentuh dan tidak ada yang mampu mencerna. Tentu, termasuk Serat Damarwulan atau cerita Damarwulan dan Menakjingga. Apalagi gending-gending klasik gandrung yang wajib didendangkan dalam setiap pagelaran kesenian gandrung Banyuwangi yang lirik-liriknya juga tersusun dalam prasemon yang sangat sulit bisa dipahami oleh kebanyakan orang awam.  
Selanjutnya  halaman 78, Benedict R Anderson menulis: “Memang, sepanjang pengetahuanku yang terbatas, tidak ada sebuah pun naskah Jawa dari abad pra-ke-20 yang menentang Belanda secara fundamental!”
Mungkin pendapat tersebut ada benarnya bila yang dimaksud karya sastra kuna yang ditulis dengan bahasa tersurat/harfiah, tetapi yang di kemas dengan bahasa lambang (prasemon) cukup banyak yang menentang Belanda secara fundamental. Bahkan Serat Damarwulan pun merupakan karya sastra yang menyimpan makna tersirat menentang politik “devide et impera” Kompeni Belanda, artinya menentang Belanda secara fundamental.pada zamannya.
Yang mujur adalah gending-gending kuna Banyuwangi yang juga dikemas dalam bahasa lambang atau prasemon, visi dan misinya mencapai hasil gemilang dalam upaya menyelamatkan sisa-sisa rakyat Balambangan (dewasa ini Kabupaten Banyuwangi), berkat gending-gending kuna tersebut harus dibawa dalam setiap pagelaran kesenian gandrung. Menurut para sesepuh kesenian gandrung  awalnya dilakukan oleh kaum pria dengan membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana, setiap hari mereka keliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni sisa-sisa rakyat Balambangan di kampung-kampung, di pedalaman bahkan  mendatangi mereka yang melarikan diri berlindung dari kejaran Kompeni dan antek-aneknya. Selain memberi hiburan berupa peragaan tarian, peragaan pecak silat serta mendendangkan gending-gending yang di padati saran dan nasehat, juga membagi bantuan yang dikumpulkan  dari penduduk yang mampu. Mengenai kisah munculnya kesenian gandrung Banyuwangi yang dimanfaatkan sebagai sarana perjuangan, awalnya sebagai berikut;
Setelah mendengar dari telik sandi, bahwa Gusti Ketut Ngurah wakil raja Mengwi yang memerintah Balambangan mengadakan hubungan dengan pedagang  Inggris, Kompeni kebakaran jenggot. Karena takut kalau pengaruh Inggris semakin kuat di Balambangan yang menjadi vasal kerajaan Mengwi, maka Kompeni memutuskan Balambangan harus diserbu dan direbut dari kekuasaan Mengwi.
            Pada tanggal 25 Februari 1767, ekspedisi Kompeni berkumpul di pelabuhan Kwanyar (Madura). Semua kapal yang ada dikumpulkan untuk melawan armada Inggris yang tidak ditakuti oleh ekspedisi itu. Jalan-jalan masuk dari selatan Bali diblokir; Penyebrangan ke Penarukan; di Penarukan dibangun sebuah benteng, juga di Probolinggo mendapat penempatan pasukan kecil yang menetap. Distrik-distrik di bagian utara menyerah. Sebagian dari armada ekspedisi tersebut berlayar langsung ke Bayu Alit. (Blambangan Indische Gids II, C. Lekkerkerker 1923, h.1048).
            Pada tanggal 11 Maret 1767, pasukan inti dibawah komandan dari Semarang yaitu Erdwyn Blanked dan yang dari Pasuruan yaitu Casper Lodewyk Troponegro, dimana terdapat 2000 orang Madura, bergerak melalui darat sepanjang pantai. Hanya di Prajekan bagian terdepan dari iring-iringan pasukan tersebut diserang dari samping oleh pasukan-pasukan dari bupati Kartanagara dari Lumajang., yang juga merisaukan pasukan kecil yang menetap di Probolinggo dan yang menutup jalan-jalan yang menuju ke Probolinggo.(ibiden C. Lekkerker 1923, h. 1049).
            Sehubungan penyerbuan Kompeni tersebut di Blambangan terus-menerus terjadi perlawanan terhadap Kompeni dan sampai berakhirnya pertempuran dahsyat di Bayu yang diserbu dan dihancur musnahkan oleh Kompeni pada tangaal 11 Oktober 1772. konon rakyat Blambangan yang tewas lebih dari 60.000 jiwa dan sisanya tinggal sekitar 5000 jiwa, hidup terpencar dihutan-hutan dan  banyak yang tidak mau kembali ke desanya masing-masing. Hal ini disinggung oleh  C. Lekerkerker sebagai berikut:
            Sampai tanggal 7 Nopember 1772, 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri mereka. Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan orang-orang lelaki yang dituduh telah mengobarkan amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar, juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang melarikan diri ke dalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka, sehingga baunya udara yang disebabkan oleh mayat-mayat yang membusuk mengganggu sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap di hutan-hutan dari Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan mereka bersikap keras untuk menetap dihutan.. (ibiden; C. Lekkerkerker  h. 1060)
Setelah Bayu dapat ditaklukkan dan dihancurkan, bupati Balambangan yaitu, Jaksanagara ditangkap dan dibuang ke Selong Dan untuk mencari penggantinya Kompeni kesulitan  mengingat bangsawan yang patut diangkat sebagai bupati tidak ada, karena para bangsawan banyak yang telah; tewas, dibunuh, di selong (buang) atau melarikan diri.
Kemudian atas informasi dan usul salah seorang patih Blambangan, bahwa seorang pemuda keturunan Pangeran Tawang Alun  yang patut diangkat sebagai Bupati ada di Bangkalan ialah Mas Alit, adik dari Mas Ayu Nawangsari istri  Pangeran Danuningrat   yang dihukum mati oleh raja Mengwi di pesisir Seseh Bali tahun 1764. Sewaktu Kompeni merebut Blambangn yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 Mas Ayu Nawangsari bersama kedua adiknya yaitu Mas Alit dan Mas Latip diboyong oleh Panembahan Rasamala (Panembahan Cakra Adiningrat VI yang memerintah atas Bangkalan dari 1770-1780).  Mas Alit dilantik sebagai bupati  tanggal 1 Februari 1774 di Lopangpang (Ulu Pangpang).. Berkat membantu kesulitan Kompeni menemukan calon bupati tersebut, patih Blambangan bersangkutan dikenal dengan prasemon; “Ki Juru Kunci” (orang yang dapat membuka menemuka kesulitan).
Berhubung Lopangpang udaranya kurang sehat, sebelum dilantik Mas Alit mengusulkan membangun ibukota yang baru. Kompeni setuju dengan menawarkan 3 tempat, yaitu; tetap di Lopangpang, Kotta atau di Pakusiram.. Yang dimaksud Kotta,  ialah Benculuk. Adapun Pakusiram, terletak disebelah timur desa Lateng Rogojampi. Mas Alit mengusulkan lebih baik membabad hutan “Tirta-arum” di daerah sebelah utara. Setelah Kompeni mengadakan penelitian, setuju, namun Kompeni terlebih dahulu memilih tempat untuk membangun benteng. Mas Alit bolih memilih tempat untuk membangun paseban atau tempat tinggalnya, asal tidak lebih dari jangkauan tembakan meriam dari tempat dibangunnya benteng. Setelah selesai benteng tersebut dikenal dengan nama “Utrech”. .Konon menurut cerita tutur munculnya gandrung lanang bersamaan dengan dibabadnya hutan “Tirta-arum”.  Pada tahun 1776, setelah dua tahun  pembabatan hutan, ibukota yang baru pengganti Lopangpang selesai dibangun dan diberi nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad; (Tirta arum).
            Berhasilnya visi dan misi pejuangan “menyelamatkan sisa-sisa rakyat Blambangan bagian timur (dewasa ini Kabupaten Banyuwangi) yang di program dalam gending-gending wajib yang harus dibawa dalam pagelaran kesenian gandrung serta dikemas dalam bahasa lambang, karena sisa-sisa rakyat yang tinggal sekitar 5000 jiwa tersebut yang hidup terpencar dihutan-hutan terdiri dari para manula, para perempuan yang trauma serta sebagian besar terdiri dari anak-anak yang sudah kehilangan orang tuanya. Dan berkat adanya manula yang masih hidup dan yang dapat mencerna makna tersirat dari gending-gending prasemon yang didendangkan gandrung, selanjutnya dijabarkan dalam memberi pengarahan kepada sisa-sisa rakyat yang ada. Jumlah gending-gending klasik yang harus dibawa dalam pagelaran kesenian gandrung sebanyak enam gending, masing-masing berjudul: Padha Nonton 8 bait; Seblang Lokinta 2 bait; Sekar Jenang 4 bait;  Kembang Pepe 3 bait; Sondreng-Sondreng 3 bait; Kembang Dirma 2 bait; dan setiap baitnya 4 lirik. Selain itu gandrung membawa puluhanan gending yang dipadati “basanan” (pantun) yang maknanya mudah dicerna oleh orang awam.
Seperti Serat Damarwulan, gending-gending gandrung yang disajikan dalam bentuk prasemon sangat sulit dicerna oleh orang awam dan hingga dewasa ini tidak seorangpun Wong Banyuwangi bisa menangkap  maknanya. Serta tidak seorang ilmuwan pun yang memperhatikan serta tertarik untuk menjabarkan walaupun kesenian yang satu ini telah acapkali ditinjau, diteliti, ditulis dan lain sebagainya.
Hal itu tidak lain dapat dipastikan yang meninjau atau para peneliti baik dari kalangan ilmuwan maupun yang lainnya, tidak mempunyai wawasan tentang bahasa lambang atau yang lazim disebut pasemon (prasemon). Sebagai contoh dibawah ini saya sajikan salah satu gending klasik gandrung Banyuwangi yang berjudul;   “Kembamg Pepe”:

                                    Kembang  pepe                                                           
                                    Merambat ring kayu arum
                                    Sang aruma membat mayun
                                    Sang pepe ngajak lunga

                                    Ngajak lunga
                                    Mbok penganten kariya dalu
                                    Ngenjot-ngenjot lakune
                                    Baliya ngeluru lare

                                    Lare dakon
                                    Turokno ring perahu
                                    Perahune bana cinde
                                    Kang kumendung welangsani

Alih bahasa Indonesia:

                                    Bunga diterik mentari
                                    Merayap di kayu harum
                                    Yang diharumkan di ayun-ayun
                                    Sang pepe mengajak pergi

                                    Mengajak pergi
Mbakyu penganten di larut malam
Cepat-cepat melangkahnya
Kembalilah memungut bocah

Anak congklak
Tidurkan di perahu
Perahunya bana cindai
Yang mempersona mengagumkan

 Dan mengenai penjabarannya untuk mengungkap makna filosofisnya yang tak ternilai akan saya sajikan dalam kesempatan yang lain. Disisi lain kesenian gandrung juga selalu membawa prasemon dalam bentuk “logo” (simbul) perjuangan berupa seni rupa “Naga berkepala “satria” Gatutkaca” (Daya Naga nalar “satriya” Gatutkaca). Walaupun Naga dan  Gatutkaca itu fiktif, bersifat fiksi; namun dalam khayalan memiliki potensi luar biasa, sebagai yang di citakan dalam menyongsong  masa depan.  Demikianlah maunya Sang Empu penggagas kesenian gandrung,, harapannya agar sisa-sisa rakyat yang tinggal sekitar 5000 jiwa setelah dibantai habis-habisan sejak penyerbuan Kompeni merebut Blambangan  dari kekuasaan Mengwi  pada 25 Februari 1767  sampai hancurnya Bayu 11 Oktober 1772 dan dilantiknya Mas Alit sebagai Bupati 2 Februari 1774, mampu menggeliat bangkit berjuang dengan motto; “Daya Naga nalar Satria”, dari manusia yang  terhina, kehilangan martabat dan harga diri serta kehilangan segala-galanya, agar kenbali bangkit menjadi manusia yang mandiri dan bermartabat; yang kemudian disebut atau dikenal sebagai Wong Osing.
Berkat termashurnya cerita Damarwulan & Menakjingga, maka nama Balambangan pun terbawa menjadi sangat terkenal pula, sehingga banyak para sarjana asing (Belanda) tertarik. Nengenai arti dan asal-muasalnya, antara lain  Dr. J. W. de  Stoppelaar menulis sebagai berikut:
            Tentang arti dan asalnya nama Balambangan terdapat beberapa pendapat tetapi yang tidak semuanya memuaskan.
Encyclopaidia dari Nederlandsch Indis, cetakan ke 2, memberi satu berdasarkan buku-kamus Bali dari Van der Tuuk. Menurut sumber keterangan ini kata tersebut kiranya suatu ubahan dari kata “lambwang” yang masih dipakai di Banyuwangi (bahasa Jawa biasa, dan bahasa Melayu lambung) = bagian pinggiran, dan seharusnya berbunyi Kalambangan. Bagaimana huruf mula K berobah menjadi B dan huruf w dibelakang b menghilang tidak diterangkan lebih lanjut.
Untuk mengukur kebenaran dari pendapat ini dikemukakan, bahwa didalam berkas-berkas Kompeni selalu ditulis namanya Balamboang (han).
Tetapi sementara ejaan “Balambanghan “ juga muncul, sedangkan lainnya lagi juga menulis “Baliboangh”, “Balibang” atau Balamboan
Hubungannya dicari antara artinya “daerah pinggiran “Tanah perbatasan” dan namanya “Pinggir” yang diberikan pada satu suku (?) didaerah kerajaan; menurut Veth; 0rang-orang ini adalah keturunan dari orang-orang Balambangan yang pernah diangkuti sebagai tawanan perang oleh Mataram.
            Dugaan bukti tampilnya Blambangan pada masa Majapahit, menurut para penulis dan peneliti sejarah dapat ditunjang dengan kakawin Nagarakretagama karya Prapanca pada tahun Saka 1287 = 1365 Masehi. (Pigeaud, 1960a:73), tepatnya pada tanggal 30 September 1365 M. (Damais, 1938: 228). Dalam pupuh 28 Atijagapati (?), bait 1, larik 3, disebutkan nama tempat Balumbung (Pigeaud, 1960a: 21) yang diterjemahkan Balumbungan (Pigeaud, 1960c: 31) dan ditafsirkan Blambangan (Pigeaud, 1962d : 22-23) demikian dan sebagainya.
Upaya-upaya yang demikian tidak terlepas dari pengaruh Serat Damarwulan yang sedemikian kuat, bahwa kerajaan Balambangan itu ada pada masa berdirinjya kerajaan  Majapahit. Padahal kerajaan Balambangan yang diceritakan dalam Serat Damarwulan hanya  merupakan  lambang atau prasemon.sebagai sindiran pada Pamotan (Kedhaton Wetan) yang memberontak pada Kredhaton Kulon (Majapahit) yang dikenal dengan perang Paregreg 1401-1406.

4. RANGGALAWE (Dalam Serat Damarwulan).
           Ranggalawe dalam sejarah Majapahit bukan nama pribadi. Nama itu anugerah dari Raden Wijaya, sebagai mana telah dijelaskan dalam “Lembaran Kebudayaan” Nomor: 02 Bulan Juli 2009, dalam tulisan berjudul; “Mengungkap Prasemon (Lambang) Pelaku Sejarah, Babad, Cerita Rakyat, oleh; Fatrah Abal, h. 55-56.
            Nama yang dianugerahkan Raden Wijaya kepada putra Aria Wiraraja itu ialah “Lawe”.  Yang dimaksud  dengan  “lawe” yaitu; “benang”  Kata benang ini lalu dicarikan kata sehari-hari yang hampir serupa, pilihannya pada kata “wenang” (wewenang). Dan yang bersangkutan diberi pangkat “rangga”. Demikian ia dikenal sebagai Rangga Lawe.(Rangga yang diberi Wenang atau Wewenang). Peristiwa itu dituturkan dengan jelas dalam Panjiwijayakrama. Bila diamati, nama yang dianugerahkan Raden Wijaya kepada putra Aria Wiraraja itu menyimpan unsur sastra “Wangsalan” yang sangat membudaya bagi  masyarakat Jawa maupun masyarakat, Madura, Sunda,  Banyuwangen dan masyarakat daerah lain di kawasan Nusantara.
            Hampir dapat dipastikan, apa lagi tempo-dulu, orang Jawa bila bertemu saudara atau kawannya yang telah lama tidak bersua, pasti salah seorang diantaranya  akan mengucapkan “Lo, kok njanur gunung?” Mestinya yang diucapkan “Lo, kok kadingaren?” Bagaimana bisa demikian? Itulah istimewanya sastra (lesan); wangsalan, tinggalan leluhur kita. Namun sayang, generasi sekarang sudah banyak yang mengbaikan dan dianggap kuna dan ketinggalan zaman. Lain dengan bangsa Jepang yang moderen dan top kemajuan tekniknya dan industri, namun sangat menghormati dan kokoh mempertahankan dan memelihara budaya keluhurnya.                       
“Njanur gunung” yang dimaksud ialah janur yang ada didaerah pegunungan, terdapat pada pohon “aren”. Kata “aren” itu lalu dicarikan kata sehari-hari yang ada “aren”-nya. Pilihannya pada kata “kading-aren” atau “ding-aren”.
Sewaktu saya masih anak-anak sebelum zaman pendudukan Jepang, setelah solat “idul fithri”  biasanya lalu bersalam-salaman, kepada; orang tua, saudara, kerabat, tetangga dan semua sahabat atau kenalan. Khusus kepada kawan sebaya dan sepermainan di kampung, yang diucapkan pada waktu bersalaman; “Minal ‘aidin wal faizin, kreta wesi-ne hang akeh”. Arti dari kata “kreta wesi” (Kereta Besi) dalam wangsalan yang disertakan ialah “sepur” (Kereta Api), padanan katanya “sepur-o” (Ind. Maaf-kan). Jadi wangsalan yang disertakan “Kreta wesi-ne hang akeh” artinya; “Njaluk sepurane hang akeh” (Ind. Minta maaf yang banyak). .Di Banyuwangi sastra wangsalan tak terhitung banyaknya yang dimanfaatkan dalam sela-sela percakapan sehari-hari. Bahkan orang-orang tua masih banyak yang spontanitas dapat membuat wangsalan maupun basanan (semacam pantun) yang dilontarkan pada lawan bicaranya disela-sela percakapan sehari-harinya.
Dalam prakteknya, wangsalan dan basanan, maupun pribahasa karema sudah sangat membudaya, yang diucapkan pada lawan bicaranya cukup; sebaris atau dua baris dari kata tumpuannya. Sedang sebaris atau dua baris kata berikutnya yang memberi keterangan, lawan bicara atau pendengarnya pada umumnya sudah bisa menangkap maksudnya. Seperti ucapan; “Kreta wesine hang akeh” tersebut diatas, yang diajak salaman sudah mengerti apa yang dimaksud. Karena cara penggunaannya seperti itu, cukup banyak basanan maupun wangsalan (pantun) sepopuler pantun “Darimana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali”. Sehingga walaupun sebaris atau dua baris dari kata tumpuannya yang diucapkan, pendengarnya sudah tanggap bagaimana baris berikutnya yang memberi keterangan.
Nama Ranggalawe  dalam Serat Damarwulan bukan merupakan unsur sastra “wangsalan” seperti nama Ranggalawe dalam sejarah awal berdirinya kerajaan Majapahit. Namun dalam Serat Damarwulan, nama Ranggalawe dipinjam dan dimanfaatkan sebagai lambang atau prasemon. Kalau dalam sejarah, tokoh Ranggalawe berkat jasanya yang besar membantu perjuangan Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit mendapat penghargaan kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan sebagai Rakian mantri Nusantara dan merangkap sebagai penguasa daerah pesisir bagian utara kerajaan Majapahit dan berkedudukan di Tuban serta mempunyai seorang putra yaitu Kuda Anjampiani. Dalam Serat Damarwuilan Ranggalawe sebagai Adipati Tuban, dan diangkat sebagai Senapati atau Panglima Perang yang andal oleh Prabhu Kenya Kencanawungu raja Majapahit untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan  Prabhu Menakjingga Urubisma, serta mempunyai dua orang putra yaitu Buntaran dan Watangan yang juga dimanfaatkan sebagai prasemon. Ternyata Ranggalawe yang diandalkan oleh Prabhu Kenya Kencanawungu pun tewas dimedan perang tak mampu menghadapai kedigdayaan Prabhu Menakjingga Urubisma yang sakti mandraguna berkat memiliki zimat gada wesi kuning.
Untuk dapat mengetahui makna tersirat lambang atau prasemon Ranggalawe, Buntaram dan Watangan, maupun jimat Gada Wesi Kuning dalam Serat Damarwulan hanya ada satu teori yang bisa ditempuh, walaupun tampaknya sepele, yaitu yang disebut; meng-“othak-athik” sampai diketemukan- “gathuk”-annya yang pas, tidak asal gathuk alias ngawur.
Karena kelajiman orang dahulu memberikan sesuatu secara lambang, niscaya logis pula bila orang menerimanya dengan segala ketajaman daya tangkap rasa dan pikiran (Jw. “daya tanggaping graita). Materi yang dihadapi di-“othak-athik” sampai “gathuk”, hingga akhirnya siratan dibalik ulah yang di luar nampak “innocent” itu terungkap.
Pada hakikatnya “othak-athik gathuk”,  yang spekulatif sifatnya itu, artinya yang positif yalah “membanding-memadu-mengurai-menyimpulkan” (Ingg = to compare-combine-analyse-deduce). Materi yang di-“banding-padu-urai-simpul”-kan itu adalah buah fantasi orang yang disebut lambang, prasemon dan sebagainya Maka wajarlah kiranya dalam menanggapi hasil-hasil karya sastra mereka, kita pun harus menempatkan diri dalam alam fantasi mereka dan menggunakan cara-cara berpikir mereka. Cara yang sama kita terapkan terhadap epos Damarwulan (Soenarto Timoer 1980 : 20 - 21).
Adapun “Ranggalawe”, terdiri dari kata “rangga” dan “lawe”. Karena dimanfaatkan sebagai lambang atau prasemon maka perlu di-“othak-athik” sampai “gathuk” sebagai berikut:
            Rangga, artinya; nama jabatan (pejabat atau para pejabat). Lawe, artinya; benang, umumnya berwarna putih, juga berfungsi sebagai tali (= sperma; berwarna putih, yang  juga berfungsi sebagai memiliki hubungan tali kekeluargaan, seperti; kakek/nenek, bapak/ibu, anak, cucu, buyut, dan sebagainya).
Dalam Serat Damarwulan; Ranggalawe diangkat sebagai “Panglima Perang” oleh Prabhu Kenya Kencanawungu raja Majapahit, untuk memimpin perang menghadapi Prabhu Menakjingga Urubisma raja Balambangan yang memberontak. Artinya bahwa mereka yang berperang dalam Serat Damarwulan antara Prabhu Kenya Kencanawungu dan Prabhu Menak Jingga Urubisma, tidak lain para rangga (pejabat kerajaan) yang masih mempunyai hubungan “lawe” atau “sperma”  (hubungan darah atau hubungan kekeluargaan). Artinya masih keluarga kerajaan (Majapahit) sendiri.. Akhirnya Rangga Lawe yang Panglima Perang itu, tewas. (Maksudnya; Rangga “para pejabat” yang Lawe “keluaga sendiri” itu, banyak yang tewas). Benarkah peperangan yang disinggung dalam “Serat Damarwulan” antara “Prabhu Kenya Kencanawungu” (prasemon untuk Wikramawardhana raja Majapahit) dan “Prabhu Menakjangga Urubisma” (prasemon untuk Bhre Wirabhumi) yang dikenal dengan perang Paregreg dalam sejarah Majapahit itu masih merupakan kerabat sendiri? Untuk membuktikan hal tersebut perlu mengetahui “Alur Kekeluargaan Rajadiraja Majapahit” sebagai berikut:
             Menurut Pararaton sehabis perang Bubat Sri Rajasanegara kawin dengan Padukoa Sori, keturunan  Sri Wijayarajasa dari Wengker. Dalam Nagarakretagama dikatakan bahwa permaisuri Sri Rajasanegara bernama Susumnadewi atau Sri Sudewi. Jadi Sri Sudewi dalam Nagarakretagama sama dengan Paduka Sori dalam Pararaton. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani, yang kemudian dinobatkan sebagai Bhatara di Lasem dengan paraban Bhre Lasem Sang Ahayu. Dari selir Sri Rajasanagara mendapat seorang putra yang kemudian dikenal sebagai Bhatara di Wirabhumi.
            Bhre Daha Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa dalam perkawinannya dengan Sri Wijayarajasa dari Wengker mendapatkan seorang putri bernama Rajasaduhita Indudewi. Rajasaduhita Indudewi kemudian dinobatkan sebagai Bhatara di Lasem dan kawin dengan Rajasawardhana dari Matahun. Perkawinan itu tidak menghasilkan keturunan. Sepeninggal Bhre Daha Dyah Wiyat Sri Rajadewi pada tahun 1371, Bhre Lasem Rajasaduhita kembali ke Daha untuk mengisi tahta Kerajaan Daha. Oleh karena ia tidak mempunyai keturunan, maka ia mengambil Bhre Wirabhumi sebagai putra angkat.
            Bhre Pajang, adik Dyah Hayam Wuruk, dalam perkawinan dengan Sri Singawardhana, Bhatara di Paguhan, memperoleh beberapa putra. Putra sulungnya bernama Wikramawardhana, menjadi bhatara di Mataram. Ia kawin dengan putri tunggal Sri Rajasanagara yang bernama Kusumawardhani. Demikianlah Wikramawardhana dan Kusumawardhani adalah saudara sepupu. Bhre Pajang mempunyai lagi seorang putra perempuan bernama Nagarawardhani, juga disebut Bhre Lasem Sang Alemu. Ia kawin dengan Bhre Wirabhumi putra Sri Rajasanagara.
            Pada tahun 1371 tahta Kerajaan Lasem kosong, lalu diisi oleh Kusumawardhani. Itulah sebabnya maka Kusumawardhani bergelar Bhre Lasem Sang Ahayu, untuk membedakannya dari Bhre Lasem Sang Alemu. Baru setelah Kusumawardhani pindah ke Kabalan sebagai bhatara, maka Nagharawardhani menjadi Bhatara di Lasem dengan julukan Bhre Lasem Sang Alemu Putri bungsu Bhre Pajang menjadi Bathara di Kahuripan. Bhre Kahuripan ini kawin dengan Raden Sumirat, putra Rakai i Hino di Majapahit Raden Sotor. Raden Sumirat kemudian menjadi Bhatara di Pandan Salas dan bergelar Bhre Pandan Salas. Ia adalah Bhre Pandan Salas yang pertama. Bhe Pandan Salas I manghat pada tahun 1400 dan dicandikan di Jinggan. Nama candinya Sri Wisnupura.
            Sepeninggal Sri Rajasanagara pada tahun 1389, Bhre Mataram Wikramawardhana menjadi raja Majapahit, menggantikan Sri Rajasanagara berkat perkawinannya dengan Kusumawardhani. Dari perkawinan Wikramawardhana dengan Kusumawardhani lahir Hyang Wekasing Suka. Ia mengambil nama abhiseka neneknya Sri Rajasanagara. Ia mangkat pada tahun 1400 mendahului ayahnya, sehingga ia tidak pernah menjadi raja Majapahit. Putra-putra Wikramawardhana dari selir yang silih berganti menduduki tahta Kerajaan Majapahit.
            Demikian secara singkat hubungan kekeluargaan rajadi-raja Majapahit pada zaman pemerintahan Sri Rajasanagara. Tokoh-tokoh yang tersebut di atas ikut serta menetapkan jalannya sejarah Majapahit (Prof Dr. Selamet Muljana 1983, h. 206-207).
            Untuk lebih meyakinkan bahwa perang yang disinggung dalam Serat Damarwulan  benar-benar merupakan perang saudara, antara para kerabat pejabat kerajaan  Majapahit, Sang Empu menambah prasemon “Buntaran” dan “Watangan” yaitu kedua putra Ranggalawe yang diangkat sebagai Panglima Perang Majapahit oleh Prabhu Kenya Kencanawungu dalam Serat Damarwulan.
            Lalu apa makna prasemon Buntaran dan Watangan?  Pada zaman dulu tombak merupan piranti perang yang dominan. Pada umumnya mata tombak disangga dengan gagang (tongkat) yang panjangnya antara dua sampai tiga meter. Gagang penyangga mata tombak sebagian disebelah atas disebut “buntaran”, dan sebagain disebelah bawah disebut “watangan”. Artinya yang menyangga mata tombak ialah “buntaran” dan “watangan”.  Berhubung tombak merupakan alat pembunuh untuk menghabisi musuh di medan perang pada zaman itu, kiranya prasemon “buntaran” dan “watangan” menyimpan makna bahwa yang menyangga “mata tombak” (api peperangan) untuk saling membunuh dalam perang “paregreg” masih saudara dekat dari kalangan bangsawan yang berdarah biru dan tentu saja masing-masing fihak melibatkan ribuan Wong Cilik alias rakyat biasa yang banyak menjadi korban baik jiwa maupun harta benda.
            Karena begitu hebatnya pengaruh “Serat Damarwulan” sehingga mampu mengobok-obok serta memutar-balikkan tentang banyak hal mengenai fakta sejarat, terutama bagi orang awam.yang menyerap Serat Damarwulan secara harfiah. Contoh yang sederhana, coba tanyakan pada setiap orang, siapa Ranggalawe itu? Pasti lebih banyak yang menjawab bahwa Ranggalawe adalah Bupati Tuban dan tewas oleh Menakjingga raja Balambangan. Jarang yang menjawab, sesuai dengan catatan sejarah bahwa; Ranggalawe adalah Rakrian Mantri Nusantara Majapahit, tewas ditangan Mahaisa Anabrang. Dan hingga sekarang cukup banyak yang percaya bahwa tokoh-tokoh dalam cerita Damarwulan itu benar-benar ada pada zaman dahulu.
            Memperhatikan makna simbolis; prasemon “Rangggalawe” diperkuat prasemon “Buntaran dan Watangan” dalam Serat Damarwulan, merupakan penjelasan,  bahwa yang terlibat dalam perang Paregreg 1401-1406, benar-benar adalah keluarga kerajaan Majapahit sendiri,  yaitu antara kerajaan bawahan Majapahit di Pamotan yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi, memberontak melawan pemerintahan pusat Majapahit di Trowulan yang dipimpin oleh raja Wikramawardhana. Jadi yang terlibat tidak ada wadiyabala dari kerajaan lain, apakah itu dari kerajaan Belambangan atau dari kerajaan manapun.. Sebab nama kerajaan “Belambangan” dalam Serat Damarwulan hanyalah lambang atau prasemon, sindiran buat kebhataraan (negara bawahan) Majapahit di Pamotan yang memberontak. Dengan demikian, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat  Sang Pujangga menciptakan karyanya Serat Damarwulan tahun 1748, yang namanya kerajaan Balambangan itu tidak ada dalam sejarah maupun dalam Sejarah Majapahit, kecuali kata-lambang (prasemon) yaitu “Balambangan” yang tercantum dalam “Prasasti Jayanegara I - 1316” yang dikeluarkan oleh raja Jayanegara setelah pemberontakan Nambi di Lumajang dapat ditumpas.


                       
PATIH LOGENDER

WAHITA DAN  PUYENGAN

ANGKAT BUTA  -  ONGKOTBUTA

 DAMARWULAN - BRAWIJAYA

 JIMAT WESI KUNING- DAYUN

 SABDAPALON – NAYAGENGGONG – DAYUN

 MENAK KUNCAR

DSB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar